Cahaya Suci Kekasih Allah AWJ
Nur Rasulullah saww sebagai Mahluk Pertama 12000 Tahun sebelum penciptaan Manusia
Dalam Hadits Qudsi Allah swt berfirman, “Law laaka, law laaka, maa kholaqtul-asy-yaa-a.” (Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engkau, tidaklah Aku menciptakan segala sesuatu.)
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. [QS. Al-Maidah: 15]
As-Suyuti dalam Kitab Tafsir Jalalain berkata bahwa ‘Cahaya’ itu adalah Nabi SAWW. Begitu pula Ibnu Jarir Ath-Thabari dan juga para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah semua sepakat bahwa ‘cahaya’ dalam ayat tersebut adalah Nabi SAWW. Pertama, disebabkan Nabi adalah cahaya dari Allah yang menerangi langit dan bumi dengan cahaya iman, Islam, dan kasih-sayang. Kedua, Nabi SAWW memang cahaya yang darinya segala sesuatu diciptakan.
Jabir bin Abdullah pernah bertanya kepada Nabi SAWW: “Apakah yang pertama kali diciptakan Allah sebelum segala sesuatu?” Maka Nabi SAWW menjawab: “Hal yang pertamakali Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu SAWW“ Riwayat ini diriwayatkan oleh Abdur-Razzaq (wafat 211H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55) dan Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi (periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya, Muslim 400. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abdul-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052), ahli hadits India, juga disebut oleh Abdul-Hayy al-Lucknawi (wafat 1304 H) ahli hadits kontemporer India. Demikian pula oleh Al-Alusi dan Bayhaqi dengan matan yang berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain.
“… Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti misykat yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)…” [QS. An-Nur: 35]
Misykat adalah suatu lubang di dinding rumah yang tidak sampai tembus ke sisi satunya yang digunakan untuk menaruh lampu atau yang lainnya. Adapun ‘cahaya Allah’ berarti Nabi Muhammad SAWW. Di hati setiap mu`min ada bangunan agama yang pada dindingnya terdapat misykat, yang pada misykat itu terletak pelita besar, dan itulah Nabi SAWW. Ka’b al-Akhbar berkata: “Makna dari ‘minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi (sirajan munira). [QS. Al-Ahzab: 45-46]
Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…sirajan munira,’ adalah: statusmu (Wahai Nabi) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala.”
Saat Allah SWT mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq, Ia pun menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur Muhammad) dari Cahaya-Nya. Ia SWT kemudian menciptakan dari Haqiqat ini keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah. Allah SWT kemudian memberitahu Muhammad akan Kenabian-nya, sementara saat itu Adam masih belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh dan badan. Kemudian darinya (dari Muhammad) keluar tercipta sumber-sumber dari ruh, yang membuat beliau lebih luhur dibandingkan seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan menjadikannya pula ayah dari semua makhluq yang wujud.
Dalam Sahih Muslim, Nabi SAWW bersabda bahwa Allah SWT telah menulis Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda dari tahun manusia) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan `Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk Kitab), adalah bahwa Muhammad SAWW adalah Penutup para Nabi. Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi SAWW bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah liat.”
Jadi, Allah SWT telah mengaruniakan kenabian dan kerasulan pada ruh Nabi SAWW bahkan sebelum penciptaan Adam. Ketika Adam telah diciptakan dan melihat kepada gerbang jannah, maka tampaklah tulisan ‘Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah’. Haqiqat Nabi Muhammad SAWW telah wujud sejak saat itu, meski tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian. Asy-Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah, beliau SAWW adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi, dan yang terakhir diutus.
`Ali ibn Abi Thalib (kwh) dan Ibn `Abbas (ra) keduanya meriwayatkan bahwa Nabi SAWW bersabda, “Allah tak pernah mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad SAWW: seandainya Muhammad SAWW diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus beriman pada beliau SAWW dan mendukung beliau SAWW, dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad SAWW, Allah memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur dari Nabi-nabi lainnya. Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai, Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?” Allah SWT menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad ibn `Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai nabi-nabi.” Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada kenabiannya.” Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?” Mereka menjawab, “Ya.” Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai mengikat dirimu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah (hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. Ali Imran: 81]
Syaikh Taqiyyud Diin as-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas penghormatan kepada Nabi SAWW dan pujian atas kemuliaannya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka. Karena itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau SAWW. Jadi, sabda sayyidina Muhammad SAWW, “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Berpijak dari hal ini, Muhammad SAWW adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan berkumpul di bawah bendera beliau. Beliau SAWW adalah Sayyidunnaas (Tuan manusia) dan Imam para Rasul. Orang-orang beriman sebelum Nabi SAWW diutus, selain mereka harus mengakui bahwa tiada yang pantas disembah kecuali Allah dan bahwa Rasul mereka saat itu adalah seorang Rasul; mereka juga harus mengakui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Setiap Nabi dan Rasul pasti menceritakan tentang Nabi Muhammad SAWW. Hingga ummat mereka mengenal Nabi SAWW seperti mereka mengenal anak-anak mereka.
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 146]
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shaff: 6]
Allah Menciptakan dan Menyempurnakan Pekerjaan-Nya bukan untuk kepuasan Diri-Nya, melainkan untuk kepuasan kekasih-Nya. Allah tidak menciptakan segala sesuatu melainkan agar Nabi Muhammad menjadi puas.
Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS. Adh-Dhuha: 5)
0 comments:
Post a Comment