Dimensi Dalam Diri Imam Khomeini ra
SEMOGA ALLAH MEMULIAKAN KITA DENGAN SYAHADAH
SANG PENEGAK REVOLUSI ISLAM
SANG PEJUANG HAM SEJATI
SANG PEMBEBAS KAUM TERTINDAS
AL-IMAM RUHULLAH AL-MUSAWI AL-KHOMEINI RA
SANG PENEGAK REVOLUSI ISLAM
SANG PEJUANG HAM SEJATI
SANG PEMBEBAS KAUM TERTINDAS
AL-IMAM RUHULLAH AL-MUSAWI AL-KHOMEINI RA
Imam Khomeini adalah figur yang mampu memadukan berbagai dimensi. Namun dalam tulisan ini saya hanya ingin menyoroti—melalui mata saya yang sempit ini—dua dimensi utama beliau, yaitu dimensi politik dan dimensi kearifan (‘irfan).
DR. Hamid Algar dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa Imam Khomeini dinilai oleh kalangan Barat dan muslimin sebagai pemimpin revolusi yang luar biasa. Semua yang secara dekat mengenal beliau maupun yang hanya sebentar bertemu beliau memberikan kesaksian bahwa beliau memiliki pandangan yang melampaui batas politik. Keterkaitan politik dalam (dimensi) kearifan inilah yang mungkin merupakan sisi khusus Imam Khomeini.[1]
Dimensi Politik
Seperti yang telah diketahui bahwa Imam Khomeini adalah seorang mujahid yang berhasil menegakkan sebuah revolusi Islam, yang dampaknya begitu besar bagi terangkatnya kehormatan (‘izzah) kaum tertindas di bumi ini.
Tak satu negara pun di dunia ini yang pernah melakukan revolusi sebagaimana revolusi Islam beliau. Sebagai contoh, Revolusi Perancis. Pemberontakan rakyat Perancis terhadap kezaliman raja Louise memang telah menghasilkan sebuah perubahan pada model pemerintahan, dari bentuk monarki ke bentuk republik. Namun kenyataannya nasib rakyat (atau sebagian rakyat) masih tetap tertindas. Sehingga, yang terjadi sebenarnya bukan sebuah revolusi, melainkan hanya pergantian bentuk dan personil pemerintahan.
Tetapi, revolusi Islam Imam Khomeini benar-benar menampilkan sebuah perubahan yang sangat krusial. Rakyat Iran yang telah sekian lama ditindas dan dibodohkan oleh rezim Pahlevi—yang didalangi oleh Amerika dan Israel—dihantarkan oleh Imam Khomeini menuju kebebasan, kemerdekaan, dan kelayakan hidup sebagai manusia. Kekuatan-kekuatan thaghut dunia pun dihancurkan dan dipermalukan di depan masyarakat dunia.
Namun demikian “suara keadilan” revolusi Islam tidak hanya bergaung di seputar rakyat Iran, melainkan juga merambah negara-negara lain. Kaum muslimin tertindas di belahan lain bumi ini seperti Mesir, Palestina, Libanon, Moro, dan lain-lain menjadi bangkit, berani, dan terdukung dalam meneriakkan perlawanan terhadap kezaliman para thaghut dunia yang dimotori oleh Amerika dan Israel serta sekutu-sekutu mereka.
Bahkan kaum non-muslim pun tak luput dari gaung “suara keadilan” revolusi Islam itu. Ketika dulu kaum kulit hitam Afrika Selatan tertindas oleh politik apartheid, Iran adalah negara pertama atau mungkin malah satu-satunya negara yang memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Afrika Selatan. Bahkan kepada Rafsanjani—presiden Iran saat itu—ketika berkunjung ke Pretoria tahun 1996, Nelson Mandela menyampaikan pidato kehormatan: “Setelah kemenangan Revolusi 1979, negara anda telah banyak berkorban dalam mendukung upaya kami. Iran menolak untuk memuluskan sistem yang dianggap oleh dunia sebagai kejahatan kemanusiaan. Hal itu telah menjadi kebijakan anda terhadap Afrika Selatan, hingga apartheid runtuh. Karena itu, meskipun kami telah menyampaikan rasa terima kasih melalui delegasi anda pada peresmian pemerintahan kami, namun saya masih merasa wajib untuk menyatakan sekali lagi kepada bangsa Iran: “Terima Kasih”.”[2]
Semua ini tak hanya membuat gerah para thaghut, tetapi juga menjadikan mereka gusar, marah, dan benci atas keberhasilan Imam Khomeini, yang benar-benar telah menampar muka mereka. Akhirnya mereka gunakan segala macam cara licik demi menghancurkan revolusi Islam; yang sayangnya justru didukung juga oleh beberapa orang—yang mengaku muslim—yang merasa dirugikan kepentingannya dengan bergulirnya revolusi Islam ini, sehingga mereka pun rela menjadi antek kaum imperialis dunia.
Penghinaan demi penghinaan dan fitnah demi fitnah mereka lakukan terhadap Imam Khomeini. Bahkan mereka juga memanfaatkan kebencian kaum wahabi atas syi’ah sebagai salah satu cara untuk memuluskan keinginan mereka dalam menghancurkan revolusi Islam. Sehingga pernah terjadi sebuah buku Imam Khomeini—yang berjudul “Kasyful Asrar”— diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan penuh distorsi dari buku aslinya, demi membentuk kebencian kaum muslimin terhadap beliau.[3]
Tantangan-tantangan seperti itulah atau bahkan lebih berat dari itu, yang selalu menemani kehidupan seorang Imam Khomeini. Namun hal itu tak sedikitpun membuat beliau gentar. Beliau tetap berani dan konsisten dalam mengumandangkan suara keadilan dan perlawanan terhadap kezaliman, hingga akhir hayat beliau.
Tina Conlon, seorang tokoh nasrani Canada, bahkan tak mampu menyembunyikan perasaannya: “Saya tak banyak mengenal Imam Khomeini, namun saya telah banyak mempelajari (tentang beliau) sejak enam belas tahun yang lalu. Saya menganggap beliau sebagai salah satu pemimpin spiritual saya. Beliau memperjuangkan urusan Tuhan dengan menentang penindasan. Beliau melawan kezaliman demi rakyat Iran yang menderita di bawah penindasan Syah. Beliau melawan kezaliman rezim apartheid atas warga kulit hitam Afrika Selatan. Beliau melawan kezaliman atas warga Palestina, yang hingga saat ini tak terlindungi dari kejahatan hanya karena mereka ingin kembali ke rumah mereka.”[4]
Dimensi Kearifan (‘Irfan)
Imam Khomeini selalu menjadikan Allah sebagai tujuan. Semua perjuangan dan gerakan beliau hanya demi meraih keridhaan-Nya. Beliau pun hanya menggantungkan harapan kepada Allah. Oleh karena itu, dalam upaya menggulirkan revolusi Islam, beliau tak pernah mempedulikan ada atau tidak adanya pendukung. Beliau hanya melihat Allah.
Hal ini terlihat dalam jawaban beliau kepada Yasser Arafat, ketika ia menemui beliau pada tanggal 18 Februari 1979. Saat itu Yasser Arafat menyatakan bahwa Israel dapat berlindung dan bergantung kepada Amerika, sementara Palestina juga bisa bersandar kepada bangsa Iran. Namun, Imam Khomeini menjawab: “Tempat perlindungan yang tidak lemah, alias berdaya, adalah Allah. Allah adalah tempat kita berlindung. Saya nasihati Anda, rakyat saya, dan rakyat Anda untuk selalu berpaling kepada Allah, bukan pada kekuatan-kekuatan (dunia) itu. Jangan bergantung pada sesuatu yang bersifat material, tetapi pada yang bersifat spiritual. Kekuatan Allah lebih besar ketimbang semua kekuatan-kekuatan (dunia) itu. Sehingga, kita melihat sebuah bangsa yang lemah dan bertangan kosong mampu mengalahkan seluruh kekuatan (dunia), dan insyaAllah akan terus demikian.”[5]
Ketundukan dan kerendahan diri beliau di hadapan Allah tak diragukan lagi. Beliau tak pernah meninggalkan shalat malam (tahajjud), meski dalam kondisi lelah atau sakit sekalipun. Beliau habiskan malam dengan menangis dan bermunajat kepada Allah. Diriwayatkan oleh Hujjatul Islam Ashtiyani bahwa suatu ketika salah seorang keluarga Imam memasuki kamar beliau di rumah sakit sebelum masuk waktu subuh. Ia mendapati Imam tengah menangis tersedu-sedu—hingga wajah beliau basah oleh air mata—sembari bermunajat kepada Allah.[6]
Beliau pun selalu menganggap ibadah shalat lebih penting dari urusan lainnya. Karena itu beliau selalu melakukan shalat di awal waktu, meskipun sedang berada dalam perjalanan, dalam penjara, di pengasingan, dan bahkan ketika tergolek lemah karena sakit parah. Diriwayatkan oleh Firishte I’rabi bahwa sejak satu jam sebelum masuk zhuhur, beliau selalu bertanya kepada siapa saja yang menjenguk beliau di rumah sakit: “Berapa lama lagi masuk waktu zhuhur?”, agar beliau dapat melaksanakan shalat di awal waktu. Bahkan ketika kondisi beliau kritis dan tak sadarkan diri, saat dokter membisikkan bahwa waktu maghrib telah tiba, beliau pun meresponnya dan kemudian melakukan shalat dengan gerakan isyarat tangan dan alis.[7]
Diriwayatkan pula oleh Sayyid Ahmad Khomeini bahwa Imam pernah menghentikan pidato (pada saat-saat akhir pengasingan beliau di Perancis), hanya karena hendak melaksanakan shalat di awal waktu. Padahal itu merupakan momen besar dan efektif, dimana saat itu revolusi telah mencapai titik kemenangan yang ditandai dengan kaburnya Syah. Apalagi pidato ini diliput oleh sekitar 150 juru kamera dari berbagai penjuru dunia dan direlai oleh stasiun-stasiun televisi Internasional seperti CNN, BBC, dan lain-lain; juga oleh semua wartawan berita seperti Associated Press, United Press, dan Reuters; termasuk pula oleh para wartawan media cetak dan radio.[8]
Kearifan dan penghambaan kepada Allah inilah yang menghantarkan beliau menjadi pejuang sejati, yang selalu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada sesama, serta menolak segala macam kezaliman dan pelanggaran hak sekecil apapun.
Diriwayatkan oleh Ayatullah Qarhi bahwa ketika Imam berada di pengasingan Najaf, rumah kecil beliau selalu menjadi tempat shalat berjama’ah zhuhur dan asar. Banyak yang mengikuti shalat berjama’ah ini, hingga memenuhi rumah dan halaman. Saat Imam memasuki ruangan, beliau begitu berhati-hati dalam melangkah. Hal ini demi agar beliau tidak menginjak sepatu atau jubah orang lain. Sungguh luar biasa, hingga seperti inilah cara beliau menghormati hak orang lain.[9]
Diriwayatkan pula bahwa Imam pernah menolak ketika rumah mungil beliau hendak dipasangi pendingin ruangan, sementara saat itu sedang musim kemarau yang begitu panas. Ketika ditanya mengapa beliau menolaknya, beliau menjawab bahwa saat itu warga Afghanistan—yang tengah dijajah oleh Rusia—sedang mengalami kepanasan yang sama.[10]
Inilah dua dimensi utama pada diri Imam Khomeini, yang telah sedemikian berfusi dan tak akan pernah berpisah. Dimensi yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan, yang hanya bergantung pada kekuatan Allah, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, dan menghormati hak orang lain.
Saya yakin, tulisan ini sangat jauh dari keagungan dan kemuliaan pribadi Imam Khomeini yang sesungguhnya. Karena ini hanyalah upaya untuk semaksimal mungkin melihat dan meneladani beliau, meskipun melalui mata yang begitu sempit.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip beberapa pendapat tokoh dunia tentang Imam Khomeini dan Revolusi Islam beliau:
1. Michel Foucault (seorang filosof), ketika meletus Revolusi Islam Iran, menyatakan: “Pemerintahan Islam dapat memprakarsai sebuah spiritulitas politik baru dan mempropagandakan perubahan dunia. Hal yang tak lagi dikenal oleh Barat, semenjak munculnya modernitas.”[11]
2. Roger Garaudy (seorang intelektual Perancis) menyatakan: “Revolusi Islam Iran menampilkan contoh baru dari manusia dan masyarakat sempurna. Ini merupakan alasan di balik permusuhan Barat terhadapnya. Khomeini telah memberikan makna baru bagi kehidupan bangsa Iran.”[12]
3. William Wersey (seorang penulis dan jurnalis Amerika) menyatakan: “Revolusi Islam Iran adalah mulia, karena dia merupakan teriakan yang berasal dari nurani Imam Khomeini.”[13]
4. Paus Johannes Paulus II menyatakan: “Ia adalah seorang yang dapat mengekpresikan pandangannya, mengingat apa yang telah ia lakukan terhadap negaranya dan dunia, dengan kehormatan besar dan pemikiran yang dalam.”[14]
5. Norman Mailer (seorang penulis) menyatakan: “Khomeini telah menawari kita kesempatan untuk menyembuhkan agama kita yang lemah ini.”[15]
6. Ernesto Cardinal (pejuang Nikaragua) menyatakan: “Para pencinta kebebasan di dunia berduka atas wafatnya Imam Khomeini.”[16]
7. Rajiv Gandhi menyatakan: “Ia seorang pemimpin besar, yang telah menggulirkan kemenangan revolusi Islam dengan keyakinannya dan berhasil meruntuhkan rezim Syah.” [17]
8. Muhammad Haikal (penulis dan ulama sunni) menyatakan: “Ia adalah orang besar, yang datang dari periode yang lain.”[18]
9. Robert Mugabe menyatakan: “Ia membimbing bangsa Iran dalam sebuah revolusi terbaik, yang unik di dunia.”[19]
Referensi:
[1] DR. Hamid Algar, “The Fusion of The Gnostic and The Political in The Personality and Life of Imam Khomeini”.
[2] “Address by President Nelson Mandela at A Banquet in Honour of President Rafsanjani of Iran”, Pretoria, 12 September 1996; Mohsen Pak Ayin, “A Look at The History of Relations Between Iran & African States”, The Journal of African Studies (Quarterly), vol. 1, hal. 13-28, Summer 1994.
[3] DR. Ibrahim Dasuki Syata, “Kasyful-Asrar Khomeini: Antara Bahasa Arab dan Bahasa Parsi”, Yayasan As-Sajjad, Jakarta.
[4] Tina Conlon, “What I Think of Imam Khomeini”, Al-Haqq Newsletter, vol. 5, issue 7.
[5] The Institute for The Compilation and Publication of The Works of Imam Khomeini, “Palestina Dalam Pandangan Imam Khomeini”, hal. 182, Pustaka Zahra, Jakarta.
[6] Association of Learning and Human Resource Research Office, “Tranquil Heart”, bab 11.
[7] Abu Muhammad Zaynul ‘Abidin, “Soaring to The Only Beloved”, bab 9.
[8] Ibid.
[9] Association of Learning and Human Resource Research Office, “Tranquil Heart”, bab 22.
[10] Kisah dari seorang teman, yang pernah belajar di Hauzah Qum, Iran.
[11] Wikipedia, “Ruhollah Khomeini”.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB), “Imam From Official’s Point of Views”.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
~ ISLAT/05/Habib Anis M.
0 comments:
Post a Comment