Kerancuan Definisi Hadits dan Sunnah (1)
Kerancuan Definisi Hadith
Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah. Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk oleh Mu'awiyah. Ia berkata. "Sesungguhuya Allah ta'ala telah memperlihatkan kepada Amir-u 'l-Mu'minin yakni Muawiyah pandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk orang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnah Abubakar dan Umar.
Abdurrahman bin Abu Bakar berkata, "Ini sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya ingin memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan marah dan menyuruh agar Abdurrahman bin Abu Bakar ditangkap. Abdurrahman bin Abu Bakar lari ke kamar saudaranya, Aisyah.
Marwan melanjutkan khotbahnya, "Tentang orang inilah turun ayat yang berkata pada orang tuanya 'cis' bagimu berdua." Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta. Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untuk dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini turun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu masih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesan dari laknat Allah."
Hadits ini diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan al-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481; Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; Tafsir Al-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dan kitab-kitab tafsir lainnya).
Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. Kepada Marwan dan menyamarkan ucapan Abdurrahman bin Abu Bakar. Inilah riwayat
Bukhari :
Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Ia berkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat sesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Ia berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka tidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata, "Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkan ayat-ayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya 'cis' bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku dan seterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidak menurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan ayat untuk membersihkanku.
Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576).
Yang menarik kita bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits" antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.
Riwayat di atas disebut "hadits" padahal yang diceritakan adalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26).
Riwayat di atas tidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang perilaku para sahabatnya.
Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya.
Pada Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.
Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari.
Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari, misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai negeri (lihat Fath-u 'l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr. Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."
Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengan definisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kita selama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaan dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang paling menyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahih meriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amal yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits" yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).
Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya termasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abdullah al-Bajali, bukan ucapan Nabi saw. (lihat Nayl al-Awthar 4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepadahadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:
Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muth'ah tetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada hadits. Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini. Ada dua muth'ah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah perempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuan sampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu. Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').
Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206; dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits ini menceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muth'ah yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai ke zaman Abu Bakar ra.
Manakah yang harus kita pegang: hadits taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muth'ah atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang pertama dan menafikan pendapat Umar.
Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga juga memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits ini membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.
>> 2
0 comments:
Post a Comment