Kerancuan Definisi Hadits dan Sunnah (2)
Kerancuan Definisi Sunnah
Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai "apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikan dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, h.16)
Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandung sunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak semua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?
Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagai sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Itu hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum. Batuk tidak bernilai syar'i.
Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, "Aku melihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk --yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan telunjuknya tapi tidak mengerakkannya?" (Nayl al-Awthar 2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakan hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi saw. yang dilaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw. Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu di luar dan sebalik.
Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkanserbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan pada bahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada bahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i dan Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi saw. Tidak pernah memindahkan serban kecuali kalau berat." Jadi pemindahan dalam khotbah istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi dan sebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan itu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untuk menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau berlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahan atau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbeda dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.
Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah. Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.
Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangat mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara mutlak adalah al Qur'an dan sunnah? Patut dicatat bahwa kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalam pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian tentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah para sahabat, bahkan sunnah para tabi'in. Definisi sunnah seperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagi dipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat, kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.
PENUTUP.
Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam.
Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu.
[JR ; Al Musthofa 31-40]
0 comments:
Post a Comment