Lailatul Qadar Dalam Pandangan Allamah Thabathaba’i (2)
Peristiwa-Peristiwa Malam Qadar:
Oleh Husain Mullanuri
1. Turunnya Al-Qur’an
Secara lahir ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” menkonfirmasikan turunnya Al-Qur’an secara keseluruhan pada malam Lailatul Qadar. Sebab kata inzâl yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan akan makna sekaligus, lain halnya dengan kata tanzîl dimana ia menunjukkan akan makna secara perlahan dan bertahap.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua bentuk penurunan. Pertama, penurunan secara sekali dan sekaligus pada malam tertentu. Dan yang kedua, penurunan secara perlahan dan berangsur-angsur selama 23 tahun masa kenabian Rasulullah Saw
Ayat-ayat seperti ayat yang berbunyi, “Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian” (QS. Al-Isra’: 106), menjelaskan bentuk penurunan Al-Qur’an yang secara berangsur-angsur.
Dalam bentuk penurunan sekaligus, bukan berarti Al-Qur’an yang banyak mengandung surah dan ayat itu, diturunkan dalam satu waktu secara sekaligus, akan tetapi maksudnya ialah ia diturunkan secara global. Sebab ayat-ayat yang diturunkan tentang berbagai peristiwa pribadi dan kejadian secara rinci berhubungan erat dengan waktu, tempat, pribadi dan kondisi tertentu yang menjadi Asbab Nuzul ayat-ayat tersebut. Sehingga seandainya Asbab Nuzul dari ayat-ayat yang ada dinafikan dan dikatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus, maka akan banyak permasalahan-permasalahan dalam Al-Qur’an yang akan terhapus dan tidak dapat diaplikasikan dengan ayat-ayat yang ada.
Dengan dimikian, Al-Qur’an bukanlah diturunkan dua kali dengan bentuk yang ada sekarang ini, akan tetapi dua bentuk penurunan ini satu dengan lainnya salng berbeda, dan berbedaan tesebut terletak pada Ijmâl (global) dan Tafshîl (terperinci) kadungan Al-Qur’an yang diturunkan, Ijmâl dan Tafshîl yang disebutkan dalam ayat, “Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.” (QS. Hud: 1). Pada Malam Qadar, Al-Qur’an turun secara global dan sekaligus pada hati suci Rasulullah Saw dan selama 23 tahun turun secara perlahan dan terperinci ayat demi ayat.
2. Penentuan Berbagai Urusan
Pada malam Lailatul Qadar, Allah swt menentukan peristiwa-peristiwa satu tahun ke depan, peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian, kemiskinan dan kekayaan, keselamatan dan kesesatan, kebaikan dan kejelakan, ketaatan dan kemaksiatan dan lain sebagainya.
Kata قدر dalam ayat yang berbunyi, انا انزلناه فى ليلة القدر menunjukkan arti pengkadaran (takdir) dan pengukuran. Demikian pula ayat yang berbunyi فيها يفرق كل امر حكيم yang diturunkan guna mensiafati malam Lailatul Qadar, juga menunjukkan akan arti pengkadaran. Sebab kata فرق berarti memisahkan dan memilah dua hal satu dengan yang lainnya. Pemisahan antara dua perkara yang penuh hikmat maksudnya ialah, bahwa dua perkara dan peristiwa ini akan terjadi ini dengan pengkadaran dan ukuran tertentu satu dengan yang lainnya akan terrpilah dan terpisahkan. Perkara-perkara yang hendak terjadi ini dipandang dari ketentuan (Qadha’) Ilahi memiliki dua tahap, yang pertama ialah keglobalan (Ijmâl) dan kesamarannya, dan yang kedua ialah keterperinciannya (Tafshîl). Malam Lailatul Qadar sebagaimana yang disinyalir dalam ayat فيها يفرق كل امر حكيم adalah malam dimana peristiwa-peristiwa yang akan terjadi akan berpindah dari tahap yang masih global dan samar menjadi diketahui dan terinci.
3. Turunnya Malaikat dan Ruh
Ayat yang mengatakan, “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”, menunjukan akan turunnya Malaikat dan Ruh pada malam Lailatul Qadar. Maksud dari Ruh adalah Ruh yang berasal dari sisi Allah Swt, sebagaimana yang Allah Swt firmankan, “Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’: 85)
Tentang apakah Amr itu, terdapat pembahasan terperinci dalam Tafsir mulia Al-Mizan. Demi meringkas pembahasan, maka hanya akan dibahas dua riwayat yang membahas tentang turunnya malaikat dan apakah ruh itu.
Rasulullah saw bersabda: “Pada malam Lailatul Qadar, para Malaikat yang berada di Sidratul Muntaha -yang di antaranya adalah Malaikat Jibril- akan turun. Malaikat Jibril akan turun bersama yang Malaikat lain sambil membawa bendera-bendera. Satu bendera akan dipasang di atas kuburku, satu lagi di atas Baitul Muqaddas, satu lagi di atas Masjidul Haram dan satunya lagi di Bukit Sina. Dan tak satu pun laki-laki mukmin dan wanita mukminah di tempat-tempat ini yang tidak mendapat salam dari Jibril, kecuali mereka yang selalu minum arak atau terbiasa memakan atau mengoles tubuhnya dengan za’faron[7].”
Telah ditanyakan pada Imam Shadiq as tentang ruh. Imam bersabda: “Ruh lebih agung dari Jibril. Sedang Jibril sejenis Malaikat dan Ruh tidak sejeis dengannya. Apakah kau tidak melihat Allah berfirman, “turun malaikat-malaikat dan ruh”, jelaslah ruh bukanlah Malaikat”.[8]
4. Kedamaian dan Keamanan:
Ketika mensifati malam Lailatul Qadar ini, Al-Qur’an menyebutkan,“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 5). Kata Salâmun yang berartikan kesejahteraan atau keselamatan menunjukkan akan keterbebasan dari kerusakan lahiriah maupun batin. Kata-kata ini mengisyaratkan akan rahmat Allah Swt yang meliputi seluruh hamba yang menghadap kepada-Nya dimana pintu-pintu azab-Nya akan tertutup pada malam Lailatul Qadar hingga terbit fajar. Hal ini melazimkan bahwa Syaitan akan terbelenggu pada malam suci ini, dengan artian godaannya tidak akan berpengaruh sebagaimana yang diisyaratkan dalam banyak riwayat. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maksud kata Salâmun ini ialah, bahwa pada malam Lailatul Qadar para Malaikat akan memberi salam pada setiap mukmin yang sibuk beribadah.
[7] Majma’ Al-Bayân, jil. 10, hal. 520.
[8] Tafsir Al-Bur ân, jil, 4, hal. 488, baris 26.
Sumber : Lailatul Qadar Dalam Pandangan Allamah Thabathaba’i
0 comments:
Post a Comment