Lailatul Qadar Dalam Pandangan Allamah Thabathaba’i (1)
Oleh Husain Mullanuri
Artikel saya bagi dalam 2 bagian untuk memudahkan pengkajian, dimana bagian kedua silahkan ikuti tautan di bawah.
Bag. 1
Even terpenting dalam bulan suci Ramadhan ialah malam Lailatul Qadar yang senantiasa dan selalu menjadi perhatian kaum muslimin. Pembahasan yang akan kita kaji ini, berkaitan dengan pandangan Allamah Thabathaba’i seputar malam Lailatul Qadar yang beliau sampaikan dalam tafsir Al-Mizan saat menafsirkan dua surah, Al-Qadar dan Ad-Dukhan. Semoga pembahasan yang sederhana ini dapat bermanfaat, khususnya bagi para da’i agar dapat menyampaikanya kembali kepada masyarakat –khususnya pada malam-malam ihya- sehingga ia dapat menjadi petunjuk yang baik bagi mereka.
Maksud dari Qadar ialah pengkadaran atau pengukuran, sedangkan malam Lailatul Qadar adalah malam pentakdiran dan pengukuran. Pada malam ini, Allah Swt akan menentukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi selama setahun ke depan, dan menetapkan kehidupan, kematian, rezeki, keselamatan dan kesesatan bagi manusia.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an tidak ditemukan satu pun ayat yang dengan gamblang menjelaskan kapan terjadinya malam Lailatul Qadar. Akan tetapi dari sejumlah ayat Al-Qur’an dapat dipahami, bahwa malam agung ini ialah salah satu malam dari malam-malam bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana yang kita saksikan, Allah Swt dalam sebuah ayat berfirman,“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang diberkahi”, (QS. Ad-Dukhan: 3). Dari ayat ini dapat difahami bahwa Allah Swt menurunkan Al-Qur’an secara sekaligus di malam yang penuh diberkahi. Kemudian dalam ayat lainnya Allah Swt pun berfirman “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah: 185). Dalam ayat ini, secara gamlang Allah Swt menyatakan bahwa Al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Di dalam salah satu ayat surah Al-Qadar, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) dalam Malam Qadar”. (QS. Al-Qadar: 1).
Dari sekumpulan ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar, malam yang diberkahi yang menjadi bagian dari malam-malam bulan Ramadhan. Yang menjadi bahan pertanyaan di sini, malam manakah dari malam-malam bulan suci Ramadhan yang merupakan malam Lailatul Qadar? Tidak terdapat dalil dalam ayat-ayat al-Qur’an yang sekaitan dengan permasalahan ini. Dimana ia hanya akan ditemukan di dalam riwayat-riwayat.
Dalam sebagian riwayat yang dinukil dari para Imam suci Ahlul Bayt disebutkan, malam Lailatul Qadar berkisar antara malam ke-19, ke-21 dan ke-23. Dalam sebagian riwayat lain dikatakan, berkisar antara malam ke-21 dan ke-23. Sedang dalam sebagian lainya, memastikan malam suci ini tiba pada malam ke-23[1]. Tidak diungkapkannya satu malam tertentu bagi malam Lailatul Qadar, bertujuan guna menjaga kemuliaan malam ini, sehingga –dengan kebodohan- seorang tidak akan menodai kesuciannya dengan dosa-dosa yang akan diperbuatnya malam itu.
Atas dasar ini, menurut riwayat Ahlul Bait as, malam Lailatul Qadar ialah salah satu malam di antara malam-malam bulan Ramadhan, yaitu salah satu dari malam-malam ke-19, ke-21 dan ke-23. Sementara riwayat-riwayat Ahli Sunah sekaitan permasalahan ini, tidak memiliki persepsi sama anatara satu dengan lainnya, sehingga sulit untuk menggabungkan persepsi yang ada. Hanya saja, sudah terkenal dalam kalangan Ahli Sunah bahwa malam ke-27 bulan Ramadhan adalah malam Lailatul Qadar dan pada malam ini Al-Qur’an diturunkan[2].
Malam Lailatul Qadar tidak hanya terbatas pada malam saat turunnya Al-Qur’an, yaitu pada tahun ketika Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, di setiap tahun pada bulan Ramadhan akan terdapat malam Lailatul Qadar yang di dalamnya ditentukan perkara-perkara setahun ke depan. Dalam membuktikan klaim ini, terdapat beberapa dalil yang diantaranya ialah:
Pertama: Turunnya Al-Qur’an secara sekaligus pada salah satu malam Lailatul Qadar 14 abad yang lalu adalah satu hal yang mungkin saja terjadi. Akan tetapi penetapan peristiwa-peristiwa seluruh abad yang telah lalu dan yang akan datang –dari malam itu- menjadi suatu yang tidak bermakna.
Kedua: karena kata يفرق dalam ayat suci فيها يفرق كل امر حكيم (Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.)[3], ialah Fi’il Mudhari’ yang megandung arti masa sekarang (present). Oleh sebab itu, kata tersebut menyampaikan makna kontinuitas. Demikian pula, kata تنزل dalam ayat mulia تنزل الملئكه والروح فيها باذن ربهم من كل امر (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.)[4] juga menunjukkan kontuinitas karena i jug berbentuk Fiil Mudhari’.
Ketiga: Dari firman Allah Swt, “ bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al-Baqarah: 185), dapat disimpulkan bahwa malam Lailatul Qadar akan terus terulang pada malam bulan-bulan Ramadhan dan tidak hanya terbatas pada satu malam Ramadhan saat diturunkannya Al-Qur’an.
Terkait hal ini, Syaikh Thusi menukil sebuah riwayat dari Abu Dzar, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, Apakah malam Lailatul Qadar adalah malam yang dijanjikan pada para Nabi dan diturunkan urusan-urusan pada mereka. Namun dikarenakan mereka sudah tiada, lantas perkara tersebut tidak lagi diturunkan? Rasulullah Saw menjawab, Tidak! Tetapi malam Lailatul Qadar (akan ada) sampai hari Kiamat[5]”.
Dalam Surah Al-Qadar disebutkan, “Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3). Apabila Allah Swt sekedar ingin menjelaskan kebesaran malam Lailatul Qadar, cukup dengan Dia berfirman, “Dan tahukah kamu apakah ia? ia lebih baik dari seribu bulan”. Artinya, bisa saja Allah Swt dalam firman-Nya menggunakan kata ganti dari malam Lailatul Qadar (yang diartikan dengan malam kemuliaan) pada ayat kedua dan ketiga. Akan tetapi Allah Swt tetap menyebutkan kalimat Lailatu al-qadr guna menunjukkan kebesaran Malam tersebut.
Kemudian Allah Swt menjelaskan kebesaran malam ini dengan berfirman, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” Malam ini dikatakan lebih baik dari pada reribu bulan ialah dari sisi keutamaan ibadah di dalamnya. Hal ini sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an menginginkan agar manusia mendekatkan diri kepada Allah dan mengajak manusia kepadanya. Oleh karenanya, beribadah pada malam Lailatul Qadar lebih baik dari ibadah seribu bulan.
Telah ditanyakan pada Imam Jakfar Shadiq as, “Bagaimana mungkin Malam Qadar lebih baik dari seribu bulan?” (padahal dalam seribu bulan itu ada satu Malam Qadar dalam setiap dua belas bulannya). Imam menjawab, “Ibadah pada Malam Qadar lebih baik dari ibadah dalam seribu bulan yang di dalamnya tidak ada Malam Qadar[6]”.
[1] Tafsîr Majma’ Al-Bayân, jld. 10, hlm. 519.
[2] Tafsîr Ad-Dur Al-Mantsur, jld. 6.
[3] QS. Ad-Dukhan: 4.
[4] QS. Al-Qadr: 4.
[5] Tafsir Al-Burhan, jil, 4, hal. 488, baris 26.
[6] Furu’ Kafi, jil. 4, hal. 157, baris 4.
Lanjut ke Bag. 2
0 comments:
Post a Comment