Kepedihan Ali bin Husain As Sajjad As (1)
Kondisi Imam Ali bin Husain As
Imam Ali bin Husain As atau Ali al Awsath adalah salah seorang putera Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib As yang ikut dalam kafilah kematian karbala. Kala itu usia beliau menginjak 23 tahun. Beliau as sedang sakit keras pada saat itu, sehingga harus ditandu untuk mengikuti ayahnya. Beliau tak mampu untuk duduk maupun berdiri, hanya bisa tergeletak dan berjuang melawan pedihnya penyakit pada saat itu. Dan dengan kehendak dan Kuasa ALLAH AWJ pula beliau selamat dari pembunuhan. Kepedihan as Sajjad sangat mendalam atas musibah yang menimpa keluarganya di padang karbala, serta musibah atas perilaku umat datuknya. Beliau menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas kekejian dan kekejaman para manusia berhati Iblis, beliau mencium sendiri bau anyir darah yang membasahi bumi karbala. beliau melihat sendiri tenda-tenda wanita yang dibakar musuh serta jeritan mereka yang dianiaya. Dipaksa diambil antingnya hingga berdarah, diarak berkeliling kota layaknya tontonan, bahkan ada yang mau diperkosa. Beliau mengalami itu semua dan melihat dengan jelas secara langsung. Sehingga sepanjang hidupnya setelah itu tragedi karbala menyisakan kepedihan mendalam, yang selalu teringat dan terkenang. Bahkan untuk sesuap nasi pun tak sanggup beliau telan. Apalagi segelas air bila mengingat kejadian tersebut.
Adiknya Al Asghar menangis
Bagaimana beliau tidak bersedih dan merasa malu untuk meminum air, sementara dikala itu adiknya al ashghar yang masih berusia 6 bulan harus meminum darahnya sendiri. Adiknya yang masih mungil, badannya masih lemah, tidak mampu menahan kehausan dan lapar, harus berpuasa berhari-hari karena dipaksa oleh lawan-lawannya. Bagaimana tidak bersedih kala mendengar jeritan adik kecilnya yang kehausan selama berhari-hari, sehingga tenggorokannya kering. Sementara tidak ada asi maupun air yang sanggup diberikan oleh sanak kerabatnya. Bagaimana beliau tidak bersedih melihat adiknya yang mungil ditahan dari minum, sementara beliau mendengar sendiri gemercik sungai furat yang bahkan anjing dan babi pun bebas untuk meminumnya. Kesedihan apa yang sanggup digambarkan bila melihat adiknya sendiri harus meraung-raung menangis sehingga suaranya habis tanpa ia sanggup untuk membantunya. Apalagi ketika beliau melihat sendiri ayahnya yang sampai harus memohon belas kasihan pada musuhnya, berusaha memancing hati para musuhnya yang sudah mati dengan adiknya yang masih kecil. Bukannya hati mereka terpanggil untuk memberikan setitik air pada adiknya. Justru panah yang mereka berikan tepat pada tenggorokan sang adik. Bagaimana seorang kakak mampu menghadapi kondisi tersebut, dimana ia sendiri hanya bisa duduk terbaring melawan penyakit yang menimpanya. Betapa sedihnya beliau sebagaimana ayahnya al Husain sedih saat sang adik menegang, menggeliat dan meregang nya di dalam pelukan sang ayah. Sehingga langit dan bumi pun berebut untuk menyimpan darah sang adik kecil tak berdosa itu, darah dari keluarga mulia sang utusan. Darah dari al Musthofa Saww
Kakaknya (Ali Akbar) yang mirip Rasul tega dihabisi
Bagaimana mungkin kita bisa menggambarkan kepedihan yang diderita oleh beliau ketika itu. Saat kakaknya sendiri Ali al Akbar harus bertarung sendirian menghadapi ribuan musuhnya. Kakak yang paling mirip dengan Rasulullah dalam rupa maupun tindak tanduknya. Kakak yang dengannya orang-orang melepaskan rindu ketika mereka merindukan kebaikan Rasulullah. Kakak yang selalu tersenyum santun menyambut kedatangan beliau. Kakak yang selalu taat dan tunduk pada ayahnya. Kakak yang selalu mengasihi saudara-saudara dan adiknya. Kakak yang selalu baik hati dan siap membantu orang lain.
Kesedihan mendalam beliau alami ketika mengingat kembaran Rasul itu harus berperang dengan umat yang mengaku pengikut Rasul. Umat yang sehari-hari mengumandangkan nama-nama Rasul di setiap ”sholat”nya. Umat yang selalu mendengungkan sebagai pecinta Rasul, umat yang mengaku meneladani Rasul, umat yang mengklaim sebagai pewaris sah rasul. Umat yang mengaku sebagai pelanjur risalah Rasul dan kenabian. Tetapi di kala itu mereka malah membunuh dan membantai anak cucu dan keluarga Rasul yang disucikan. Tiada kata yang sanggup menggambarkan kepedihan beliau saat itu. Seakan-akan beliau melihat Rasulullah sendiri sedang dikurung oleh ribuan musuh, di cabik-cabik oleh pedang-pedang terlaknat, serta dihujani dengan tombak dan anak panah. Seakan-akan beliau melihat Rasulullah sendirian tanpa pembela, ditengah serigala yang mengaku sebagai ummatnya. Musibah dahsyat apa yang harus beliau tanggung ketika mendengar ucapan terakhir orang yang paling mirip rasulullah mengucapkan dengan menyayat hati Alaika minnis salam pada ayahnya. Di saat akhir hayatnya kepada ayahnya al Husain. Inna lillah wa inna ilaihi Rojiun.
Jeritan Suci Ayahnya Al Husein As
Kedukaan dikala ayahnya memanggil-manggil umatnya dan berusaha menyadarkan mereka tetapi tidak ada yang bergeming. Derita yang harus beliau tanggung ketika tak mampu menyahuti panggilan sang ayah dan imam beliau : ”Man Anshoori Illalah ?”.
Kedukaan saat ayahnya sampai menjadi buta mendengar jeritan al Akbar, sehingga harus dituntun al Abbas. Kedukaan saat Ayahnya menjerit-jerit : ”Dimana engkau akbar, teruslah berteriak, aku tak mampu melihat engkau?”.
Wahai hati mampukah engkau menggambarkan ketidak berdayaan seorang Anak ketika mendengar ”jeritan” ayahnya menyayat hati saat kepalanya harus dipisahkan dari badannya.... Ketika mendengar jeritan ayahnya : ”Wa Muhammadah, Wa Aliyah, Wa Hasanah, Wa Ja’farah, Wa Hamzatah, Wa Aqilah..................
Keinginan syahadah
Menjadi syahid adalah cita-cita mukminin sejati. Apalagi syahid di dalam pangkuan maulanya. Demikian pula dengan keinginan beliau menjadi syahid disaat itu. Yang kemenakan kecilnya saja mampu merasakan nikmatnya syahid dengan mengatakannya sebagai lebih manis dari madu. Bagaimana kita mampu menggambarkan perasaan as Sajjad, ketika satu-persatu sahabat dan saudaranya merengguk nikmatnya madu syahadah, sementara beliau harus tergeletak lemah tak berdaya. Tidakkah kita merasakan keinginan kuat menggapai syahadah, di kala pentas syahadah sudah digelar, sementara setiap orang telah memperoleh bagian syahadah yang dimimpikannya. Sementara beliau sendiri harus menunggu lagi beberapa lama. Tidakkah kita merasakan ”kecemburuan” beliau ketika melihat orang-orang diberi nikmat syahadah, ditempatkan di surga tertinggi, di dekat para anbiya, syuhada, shiddiqin dan shalihin. Serta melihat para sahabat beliau di jamu oleh Rasulullah, Amiril mukminin dengan tangannya sendiri. Dituangkan air dari telaga al kautsar dengan tangan-tangan suci mereka. Dan ditempatkan di tempat terdekat mereka. Bagaimana kita harus menggambarkan keadaan seseorang yang harus sejenak menunggu untuk menjadi seperti mereka. Sementara yang lain sudah menggapainya?
Pembangkangan 11 Anak nabi Yaqub
Tatkala Nabi Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke sumur, Nabi Yaqub menjadi sedih, dan
matanya menjadi putih dan buta. Nabi Yaqub mengetahui bahwa Yusuf masih hidup, dan kelak akan berjumpa kembali. Tetapi tetap saja kesedihan merasukinya. Kerinduan dengan Yusuf membuatnya menjadi buta. Itu adalah kondisi nabi Yaqub. Penderitaan As Sajjad lebih dari sekedar penderitaan Yaqub. Ketika Yaqub hanya ditinggal oleh seorang anaknya saja, Beliau harus ditinggal oleh seluruh sahabat, kerabatnya bahkan ayah dan maulanya sendiri. Ketika mata Yaqub menjadi putih saat ditinggal sementara oleh Yusuf, bagaimana dengan as Sajjad? Tidakkah beliau lebih hebat lagi. Beliau tidak hanya ditinggal sesaat untuk kemudian berharap bisa bertemu kembali, tetapi beliau ditinggal sebantangkara, dengan tanpa seorangpun mampu menjadi pelipur laranya. Sementara Yaqub masih memiliki bunyamin dan isteri-isterinya. Mata Yaqub menjadi putih dan bersedih akibat persekongkolan jahat para putra-putranya yang lain, yang mencelakakan dan mengasingkan Yusuf. Bagaimana sang Zainal Abidin tidak bersedih, yang bersekongkol tidak hanya 11 orang (seperti anak-anak Yaqub) tetapi seluruh penduduk kufah, yang jumlahnya ribuan orang. Bagaimana beliau tidak bersedih atas apa yang akan menimpa ribuan orang kufah tersebut. Sementara anak-anak Yaqub masih sempat bertaubat dan meminta ampun kepada Tuhannya. Tetap saja mata Yaqub menjadi buta dan memutih karena kesedihannya.
Penghinaan bibi, pelecehan saudari
Kesedihan bagaimana yang mungkin dapat menggambarkan kondisi beliau. Dikala bibinya dirampas hijabnya yang selama ini terus dijunjung tinggi oleh beliau. Sementara beliau tergolek lemah dengan keinginan besar membantu, tetapi apa daya.... Beliau juga harus melihat telinga saudarinya terkoyak hancur demi anting-anting usang yang menghias saudarinya... Beliau harus mendengar jerit ketakutan kala melihat tenda-tenda mereka dibakar dan diporak porandakan. Beliau menyaksikan sendiri bagaimana para serigala berebut putri-putri suci nabi untuk dijadikan sebagai budak dan pelacur. Bagaimana hati tidak hancur ketika kaki-kaki suci para wanita-wanita suci harus dirantai bak hewan hewan yang digiring menuju tempat penyembelihan.
Wahai duka nestapa. Bilamana engkau mampu menggambarkan kondisi sang Abidin ketika ribuan orang melempari mereka dengan makanan, sayuran dan buah-buahan busuk laksana seorang gila yang diarak-arak berkeliling kota. Sementara mereka adalah bidadari-bidadari Nabi. Kesedihan apa yang mampu engkau gambarkan atas keadaan as Sajjad menyaksikan itu semua, sementara beliau sendiri dipaksa dan tak mampu untuk membela mereka, sebagai satu-satunya lelaki yang masih hidup yang tersisa dari kafilah duka tersebut. Apa yang dapat engkau bayangkan atas kesedihan mendalam as Sajjad ketika harus dipaksa meninggalkan jasad ayahnya, saudaranya, kerabatnya, sahabatnya, dan semuanya tanpa dimandikan, tanpa dikebumikan, tanpa dikafani, tanpa disholati, tanpa dihormati, untuk berpamitan terakhir pun tidak mungkin, bahkan dengan anggota-anggota badan yang terpisah dari tubuh-tubuhnya. Terkoyak-koyak tak terurus, bak sampah yang setiap orang jijik untuk melewatinya.
Duka apa yang dapat menggambarkan seperti duka Sang Abidin, ketika kepala-kepala maulanya, saudaranya, kerabat dan sahabat-sahabatnya harus ditendang-tendang, dipukul-pukul, di ayun-ayun bagaikan bola. Diputar-putar, diarak diatas tombak-tombak duka. Sementara kepala-kepala itulah yang selalu menempel ditanah melakukan sujud. Bibir-bibir itulah yang selalu mengalunkan ayat-ayat suci Tuhan. Bibir itu pula yang selalu mengulas senyum dan menebarkan salam. Serta bibir dan leher itu pulalah yang selalu dicium dan dijaga oleh Rasul al Musthofa…
0 comments:
Post a Comment